
Kepala KUA Kalimanah, Drs. H. Kholidin, M.Si (Kanan) saat menyampaikan pesan Apel Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 lalu, di halaman Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga yang diikuti oleh Penyuluh Agama Islam, Penghulu Muda dan staf. (Foto: Rizal)
Hidup Sederhana adalah Mulia, Bukan Hina: Kajian Konseptual dalam Perspektif Islam dan Pemikiran Ulama
Oleh: Imam Edi Siswanto (PAI KUA Kalimanah)
Pesan tentang pentingnya hidup sederhana kembali mengemuka dalam Apel Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 lalu di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga yang diikuti oleh Penyuluh Agama Islam, Penghulu Muda dan staf.
Kepala KUA Kalimanah, Drs. H. Kholidin, M.Si menegaskan bahwa “hidup sederhana adalah mulia, bukan hina,” sebuah pesan yang relevan di tengah masyarakat modern yang dihiasi budaya konsumtif.
Pesan singkat di atas, menurut hemat kami menarik untuk diulas dengan menggunakan pendekatan kajian literatur (library research) terhadap sumber-sumber klasik dan kontemporer, untuk merenungkan kembali makna kesederhanaan menurut Islam, berdasarkan ajaran para Nabi, warisan ulama klasik, dan pandangan ulama.
Pesan tersebut bukan sekadar ajakan moral, tetapi mencerminkan prinsip dasar ajaran Islam yang berpijak pada keseimbangan, keikhlasan, dan pengendalian diri.
Dalam ajaran Islam, kesederhanaan (al-basâthah) dipahami sebagai kualitas moral yang memiliki dimensi spiritual, psikologis, dan sosial. Al-Qur’an menegaskan prinsip keseimbangan melalui larangan berlebih-lebihan dan larangan bersikap kikir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesederhanaan merupakan prinsip moral yang memiliki dimensi spiritual, psikologis, sosial, dan peradaban. Kesederhanaan bukan bentuk kemiskinan, tetapi pilihan spiritual yang menegaskan integritas dan keteguhan hati seorang muslim.
Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’ [17]: 26 agar tidak melakukan tabdzîr (pemborosan), dan dalam ayat 29 agar tidak terjatuh ke dalam taqtîr (kekikiran). Sejumlah ulama seperti Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin dan Ibn Qudamah dalam Minhajul Qashidin menjadikan ayat-ayat ini sebagai fondasi pemahaman bahwa kesederhanaan adalah jalan tengah yang mendidik jiwa dan menguatkan karakter seorang mukmin.
Keteladanan Rasulullah SAW menjadi landasan utama pemahaman akan nilai kesederhanaan. Beliau hidup dengan penuh kedermawanan, namun tetap menjaga gaya hidup yang jauh dari sifat berlebih-lebihan.
Di sinilah kesederhanaan menjadi ekspresi keimanan yang paling nyata. Dalam konteks sosial saat ini, tantangan terbesar muncul dari budaya hedonisme digital, gaya hidup yang terbentuk melalui media sosial, influencer, konten pamer harta (flexing), dan tuntutan pencapaian materi yang tidak realistis.
Budaya ini mendorong masyarakat, termasuk keluarga muda, untuk mengejar citra sosial daripada substansi spiritual. Anak-anak dan remaja pun tumbuh dalam lingkungan yang mudah tergoda oleh popularitas digital, sementara nilai kesederhanaan terpinggirkan.
Para ulama klasik banyak menegaskan kedudukan mulia dari kesederhanaan. Al-Ghazali, menempatkannya sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), karena kerakusan duniawi menurutnya adalah pintu masuk berbagai penyakit hati.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, serta kompilasi hadisnya seperti Arbain Nawawi, mengutip berbagai hadis yang menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh kelimpahan materi, tetapi oleh akhlak, ketakwaan, dan pengendalian diri.
Ibn Qudamah, melihat kesederhanaan sebagai pelindung dari sikap pamer dan sifat boros, sementara Imam Nawawi dikenal sangat zuhud dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan dalam catatan biografis ulama tentang Imam Malik, kesederhanaan ditunjukkan melalui penampilan yang rapi namun tidak berlebih, sebagai wujud moderasi yang dituntunkan Islam.
Sementara itu, ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dalam Al-Iman wal-Hayah mengingatkan bahwa kesederhanaan (atau al-i’tidal dan wasatiyyah) merupakan identitas umat Islam yang harus terus dijaga di tengah arus globalisasi dan konsumerisme.
Buya Hamka dalam Tasawuf Modern menegaskan bahwa kesederhanaan adalah bentuk kebebasan sejati membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu, gaya hidup pamer, dan ketidakpuasan yang tidak pernah selesai.
Melalui seluruh pandangan tersebut, kesederhanaan tampak bukan sebagai simbol kemiskinan, tetapi sebagai pilihan moral dan spiritual yang membawa ketenangan (sakinah), kejernihan hati, kekuatan akhlak, serta wibawa moral.
Pesan Kepala KUA Kalimanah menjadi pengingat bahwa kesederhanaan tetap relevan untuk membangun keluarga dan masyarakat yang lebih beradab. Ketika budaya konsumtif semakin kuat, kesederhanaan menjadi benteng diri sekaligus jalan menuju kemuliaan sebagaimana diajarkan ulama sepanjang zaman. Kesederhanaan bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi benteng moral yang melindungi keluarga dari tekanan sosial yang semakin kompleks..
Dengan demikian, kesederhanaan bukan hanya nilai moral, tetapi fondasi peradaban Islam yang harus dihidupkan kembali. (*)
Daftar Pustaka:
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
Al-Qaradawi, Yusuf. Al-Iman wal-Hayah. Cairo: Maktabah Wahbah, 1995.
Hamka, Buya. Tasawuf Modern, Jakarta: Republika Penerbit, 2015.
Ibn Qudamah. Minhajul Qashidin. Cairo: Dar Ibn Al-Jauzi, 2008.
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2015.










Add Comment