
Fenomena meningkatnya jam kerja dan intensitas lembur di sektor industri berdampak pada relasi keluarga pekerja. Artikel ini membahas pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan waktu bagi keluarga dalam perspektif Islam dan psikologi keluarga modern.
Di tengah hiruk-pikuk dunia industri yang menuntut waktu dan tenaga, keluarga sering kali menjadi korban kelelahan modern. Suami dan istri bekerja keras dari pagi hingga malam demi memenuhi kebutuhan hidup, sementara anak-anak tumbuh dengan perhatian yang terbagi.
BACA JUGA: https://www.bekalbaik.com/ketika-waktu-bersama-keluarga-lebih-berharga-dari-lembur-tambahan/
Mengutip dari rri.co.id menyebutkan bahwa, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan bahwa pekerja Indonesia memiliki rata-rata durasi kerja 41 jam per minggu, melebihi batas 40 jam kerja per minggu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Dari total 67,1 juta pekerja, sebanyak 44% di antaranya bekerja lebih dari 45 jam per minggu, bahkan 5,46 juta orang bekerja di atas 60 jam. Kondisi ini menggambarkan bahwa banyak keluarga Indonesia, khususnya di sektor industri, harus menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.
Dalam pandangan Islam, keluarga sakinah bukan hanya terbentuk dari kecukupan materi, tetapi dari kehadiran kasih sayang, komunikasi, dan tanggung jawab moral antaranggota keluarga.
Keluarga bukan sekadar tempat beristirahat, melainkan tempat bernaung dan menemukan ketenangan jiwa. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 80:
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْۢ بُيُوْتِكُمْ سَكَنًا
Artinya: “Allah menjadikan bagimu rumah sebagai tempat tinggal”
Ayat ini menunjukkan bahwa menurut tafsir para ulama, rumah bukan sekadar tempat fisik bahwa rumah (bayt) diciptakan Allah bukan sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi “sakan” tempat menetap yang membawa ketenangan jiwa. Dalam tafsir Ibn Katsir, “sakan” berarti ketenangan, rasa aman, dan perlindungan dari kegelisahan. Ini menggambarkan fungsi keluarga sebagai ruang emosional, bukan hanya tempat tinggal.
Secara ringkas, ayat ini mengajarkan bahwa keberadaan rumah secara fisik tidak cukup. Ketenangan sejati datang dari lingkungan keluarga yang penuh dengan rasa aman dan kasih sayang, menjadikannya tempat berlindung dari gejolak kehidupan.
Kehidupan industri menuntut ketepatan waktu, disiplin, dan produktivitas tinggi. Namun, jika tidak diimbangi dengan manajemen waktu keluarga, tekanan tersebut bisa mengikis kehangatan rumah tangga.
Anak-anak tumbuh tanpa komunikasi emosional dengan orang tua, dan pasangan suami istri kehilangan keintiman batin yang seharusnya menjadi penopang sakinah. Allah SWT berfirman QS. Al-Furqan [25]: 74.
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’”
Ayat ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati dalam keluarga tidak diukur dari harta, melainkan dari ketenangan batin dan kasih sayang yang menyejukkan hati.
Dalam konteks psikologi Indonesia, mengutip dari Kompas, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) atau yang dikenal sebagai psikolog dan pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, anak-anak yang kecanduan gawai disebabkan karena tidak ada pilihan lain yang lebih menarik untuk mereka lakukan. Bahkan, dibandingkan dengan orangtua, gawai sudah lebih akrab dengan anak-anak.
Menurut Seto, psikolog terbaik adalah orangtua. Pada dasarnya, ilmu psikologi adalah bagaimana membangun komunikasi atas dasar kedekatan. Bagi anak, orangtua seharusnya menjadi orang terdekat yang dapat mendengar cerita mereka dan bermain bersama.
Surah Luqman (31:13-19), yang berisi nasihat bijak dari Luqman al-Hakim kepada anaknya, menekankan komunikasi yang penuh kasih sayang, hikmah, dan kesabaran.
Dalil lain yang relevan mencakup kisah Nabi Ibrahim dengan anaknya Ishak (Surah Ash-Shaffat ayat 102), tentang kepatuhan dan kasih sayang, serta perintah Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6 untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka melalui pendidikan yang baik.
Firman Allah di atas, menegaskan bahwa kebaikan kepada keluarga adalah ukuran keimanan. Menyediakan nafkah memang kewajiban, tetapi menghadirkan diri secara emosional adalah wujud kasih sayang yang bernilai ibadah.
Menurut Triska Candra Sari dalam jurnal Wahana Islamika (2023) menuliskan bahwa keharmonisan dalam keluarga memerlukan keterlibatan yang seimbang antara suami istri. Suami dan istri dalam berumah tangga diibaratkan sebuah perahu yang berlayar di Samudra, dalam hal ini diperukan kebijaksanaan dan kerjasama dalam berlayar (berkeluarga) (Ummu and Abu 2022).
Banyak hal yang bisa dilakukan seperti memberikan perhatian, saling pengertian, bekerjasama, saling memaafkan, saling mengingatkan dalam kebaikan. Hal ini dilakukan agar terhindar dari konflik keluarga yang berakibat kepada perceraian, karena perceraian merupakan satu hal yang dibenci Allah (Asman 2022).
Menghadapi era society 5.0, tidak hanya teknologi yang berkembang pesat dan mengalami perubahan, tetapi pola kehidupan, utamanya dalam keluarga juga akan berubah menyesuaikan era. Gambaran dari era society 5.0 yaitu teknologi sudah menjadi bagian dari manusia itu sendiri (Nisa 2022).
Perubahan pada era ini harus disikapi dengan bijak oleh manusia itu sendiri. Keluarga sudah terpengaruh, terbukti dengan banyak ditemui di dalam keluarga komunikasi secara tidak langsung dimana kegiatan suami istri banyak dengan gadgetnya, disinilah tantangan yang tidak mudah dalam mewujudkan keluarga sakinah. Kunci sakinah dalam era ini yaitu suami istri harus memiliki dasar yang kuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi secara bersama-sama (Asman 2022).
Dalam perspektif Elly Risman Musa (2016), seorang psikolog perempuan yang fokus pada parenting dan pendidikan anak dalam karyanya Parenting with Elly Risman and Family, mengatakan pola ketahanan keluarga ialah berusaha menemukan pokok masalah, berusaha untuk saling terbuka, dan mengerti masa lalu serta pengaruhnya bagi kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
Keluarga sakinah di era industri bukan berarti keluarga tanpa kesibukan, tetapi keluarga yang mampu menemukan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan cinta. Dengan komunikasi yang baik, pengelolaan waktu yang bijak, dan doa bersama, keluarga pekerja industri tetap bisa membangun rumah tangga yang damai, beriman, dan penuh kasih.
Dengan demikian, keluarga sakinah di era industri merupakan hasil keseimbangan antara spiritualitas, manajemen waktu, dan literasi emosional. Kolaborasi antara nilai Islam dan prinsip psikologi keluarga menjadi kunci untuk menciptakan ketenangan batin di tengah kesibukan modern.(*)
#EraIndustri #Society50 #DigitalisasiKeluarga #KeseimbanganKerjaDanKeluarga #PsikologiKeluarga #KehidupanModern #KeluargaSakinah #BimbinganPerkawinan #KementerianAgama #PenyuluhAgamaIslam #PekerjaIndustri #BuruhPabrik #ManajemenWaktu #LiterasiKeuanganKeluarga #KomunikasiKeluarga #ParentingIslami #GenerasiBerakhlak #SakinahMawaddahWarahmah
Sumber:
- https://quran.kemenag.go.id/
- https://rri.co.id/papua/kesehatan/1615681/durasi-kerja-di-indonesia-capai-41-jam-seminggu.
- https://www.kompas.id/artikel/seto-mulyadi-orangtua-menjadi-psikolog-terbaik-untuk-anak
- Triska Candra Sari. Menghadapi Era Society 5.0 Dengan Keluarga Sakinah: Telaah Surah Ar-Rum Ayat 21. Wahana Islamika: Jurnal Studi Keislaman. Juli 2023.
- Elly Risman. Parenting++1: Parenting with Elly Risman and Family. Bekasi: The Risman Publishing, 2016.










Add Comment